Menjejak Negeri Sakura Hari ke-1: Kobe

Penerbangan dari Kuala Lumpur yang dimulai pada pukul 01.00 (GMT+8) akhirnya mendarat di Kansai International Airport pada pukul 08.00 pagi waktu Osaka (GMT+9, beda waktu 2 jam dari WIB, sama kayak WIT di Indonesia) lebih cepat 20 menit dari yang dijadwalkan. Kalau dihitung-hitung perjalanan memakan waktu sekitar 6 jam.

Ada yang berbeda dari tingkah penumpang pesawatnya. Selama pengalamanku terbang dengan rute-rute sebelumnya, begitu pesawat mendarat biasanya penumpang udah nggak sabar segera berdiri dan mengambil tas di kabin. Tapi ini….semua rapi, tak ada satupun yang berdiri, bahkan tidak ada yang melepas seat belt sebelum lampu tanda ‘fasten seat belt‘ dimatikan. Mengagumkan bukan?! – Andai Indonesia begini-

Begitu pesawat berhenti sempurna, barulah semuanya mulai berdiri dan mengambil bagasi masing-masing, tapi tetap tak ada yang terlihat terburu-buru seperti pemandangan biasanya. Pintu pesawatpun dibuka, dan senyum hangat dan salam perpisahan dari pramugari mengantarkan kami menginjakkan kaki ke Osaka.

Wuussshhhhh….hembusan angin dingin mulai menerpa wajah. Mak, dinginnya. Padahal kami berjalan di garbarata bukan lapangan terbuka, tapi tetap saja hawa WInter mulai terasa. Tapi tak apa, jaket tebal telah dipakai sedari tadi, dan dengan semangat yang makin memuncak kami lantas melangkah maju…

Terminal kedatangan pesawat terbilang cukup jauh dari gedung utama, penumpang disediakan kereta listrik khusus yang akan mengantarkan ke ruang imigrasi dan claim bagasi. Tak perlu waktu yang terlalu lama, sekitar 5 menitan kami turun dan langsung mengantri di bagian imigrasi untuk pengecekan visa. Tapi sebelumnya kami harus melewati semacam kamera pendeteksi suhu tubuh, untung aja lagi fit coba kalo demam, bisa-bisa di deportasi. Pemerintah Jepang memang dikenal cukup strict menyangkut masalah penyebaran wabah penyakit.

Petugas imigrasi tak terlalu banyak bicara, tapi bukannya tak ramah. Mereka menyuruh kami meletakkan jari di alat finger print scanner, dan langsung diperbolehkan masuk. Nggak ada tampang teroris, jadi aman…

 

Satu-persatu anggota grup mengambil bagasi masing-masing dan berkumpul di Arriving Hall, tempat Meeting Point dengan mbak CK. Setelah beberapa saat satu persatu anggota telah berkumpul, namun… Peristiwa tidak mengenakkan terjadi, sesaat lagi.

Aku pun bertemu dengan mbak CK, penulis backpacker favouritku. Diluar dugaan ternyata dia tinggi banget! Itulah kesan pertama yang aku dapat. Selama ini aku hanya melihat mbak CK dari foto di buku dan Facebooknya, dan baru tau aslinya sebegini tinggi. Tinggiku cuma sebatas bahunya… -____-

Selagi menunggu teman-teman lain selesai ambil bagasi, kami ke toilet dan berberes sekenanya. Maklum, tidur di pesawat nggak sempat gosok gigi pagi-pagi, jadinya cuma ngunyah permen. Cuci muka, masuk ke toiletnya dan kaget….

Jrengg!!!

Toiletnya seperti toilet duduk biasa, tapi HiTech. Dudukannya hangat. Semprotan air tidak lagi menggunakan tuas-tuas namun digantikan dengan sederetan papan tombol layaknya mesin cuci otomatis. Petunjuknya huruf Jepang, tapi jangan khawatir ada bahasa Inggrisnya kok, jadi ngerti tombolnya buat apa aja… Dicuaca yang dingin begini jadi nyaman duduk berlama-lama.

Namun, saatnya menceritakan bagian tidak mengenakkan hari ini.

Salah satu anggota grup, mbak Silvi kehilangan bagasi. Koper yang telah susah payah di packing dan isinya seluruh perlengkapan musim dingin raib, sama sekali tidak ditemukan. Pihak bandara menjelaskan bahwa mungkin bagasi tersebut tertinggal di Kuala Lumpur ketika transit. Astaga….

Kebayang kan, baju, jaket, syal, dll semuanya dimasukkan ke dalam koper. Dengan kata lain, pakaian mbak Silvi yang tersisa cuma yang dipakainya saat ini, syukurlah salah satu jaketnya telah dikenakan sejak di KL  dan tidak dimasukkan ke bagasi. Coba kalau nggak pakai jaket, beghhhh….

Pihak bandara berjanji akan berusaha mengirimkan bagasi tersebut kembali ke mbak SIlvi. Semoga… Tapi tentunya memakan waktu paling cepat 1 x 24 jam.

Leave a comment